Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Flag Counter
Home » » PERJANJIAN INTERNASIONAL 1

PERJANJIAN INTERNASIONAL 1




Nomenklatur Perjanjian-Perjanjian Internasional

Nomenklatur Perjanjian-perjanjian Internasional
 
  
Pendahuluan
 
Sering dijumpai bahwa perjanjian-perjanjian internasional yang memiliki bobot yang sama digunakan nomenklatur yang berbeda.  Lebih dari itu, pilihan nomenklatur tersebut sangat beragam sehingga sering membingungkan para praktisi dalam penamaan suatu perjanjian internasional.
 
Tulisan ini khusus disajikan kepada para praktisi hukum publik dan para pemerhati masalah-masalah perjanjian internasional khususnya para mahasiswa yang tengah mempersiapkan karya tulis di bidang perjanjian internasional.
 
Nomenklatur di dalam tulisan ini mungkin akan berbeda dengan pengertian yang terdapat pada buku-buku literatur karena pengertian disii adalah pemahaman yang berkembang dalam praktek pembuatan perjanjian internasional di Indonesia selama penulis bertugas di Bagian Ratifikasi Sekretariat Kabinet dari Tahun 1985-2000.
 
 Peristilahan Perjanjian Internasional (Nomenklatur)
 
Dalam pembuatan perjanjian internasional banyak digunakan nomenklatur, seperti Pact (pakta), Statute (Statuta), Treaty (Traktat), Convention (Konvensi), Constitution (Konstitusi), Agreement (Persetujuan), Memorandum of Understanding (MoU/Memoranda Kesepakatan), Protocol (Protokol), Charter (Piagam), Pernyataan (Deklarasi), Final Act (Akta Akhir), Terms of Reference, Arrangement (Pengaturan), Exchange of Note (Pertukaran Nota), Agreed Minutes, Letter of Intent, Summary Record, Proces Verbal, Terms of Reference dan Modus Vivendi.
 
Penggunaan nomenklatur tersebut sering menimbulkan salah penafsiran tidak hanya terhadap masyarakat awam, juga kepada para paraktisi. Penamaan bentuk-bentuk perjanjian tersebut diberikan untuk menunjukkan bahwa materi yang diatur di dalam perjanjian tersebut memiliki bobot kepentingan yang khusus/berbeda tingkatannya bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.  Secara hukum, perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang mengadakan perjanjian.  Disamping itu, nomenklatur yang digunakan tidak menentukan bentuk peratifikasiannya (Kepres/Undang-undang). 
 
Penetapan bentuk peratifikasian Kepres/Undang-undang tergantung dari Substansi yang diatur dalam perjanjian.  Contoh, Convention on the Prohibition of the Development Production, Stockpilling and the Use of the Chemical Weapons and on the Destruction.
Mengingat materi muatan Konvensi (multilateral) tersebut diatas sangat penting (substantif) karena berkaitan dengan aspek-aspek politik, ekonomi, hukum dan teknologi, Konvensi di ratifikasi dengan Undang-undang nomor 6 tahun 1998.  Dipihak lain, terdapat juga perjanjian bilateral yang menggunakan nomenklatur Konvensi, tetapi dikarenakan substansinya hanya bersifat tehnis, maka dalam peratifikasiannya digunakan bentuk Keputusan Presiden seperti Konvensi Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Amerika yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden nomor 44 tahun 1998.  Secara umum, pemilihan suatu nomenklatur pada perjanjian bilateral pada dasarnya diserahkan kepada kesepakatan para pihak yang menggadakan perjanjian.  Kebebasan para pihak dalam memilih nomenklatur pada perjanjian bilateral dapat pula dilihat pada Perjanjian-perjanjian bilateral antara Pemerintah Indonesia dengan negara-negara lain yang pada umumnya menggunakan bentuk Persetujuan (Agreement) dalam diratifikasi dengan Keputusan Presiden.  Namun demikian, terdapat pula perjanjian multilateral yang menggunakan nomenklatur Persetujuan, misalnya Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia-karena mengingat substansi dari Persetujuan ini sangat penting bagi Indonesia, maka persetujuan diratifikasi dengan Undang-undang nomor 7.
 
Mengingat keragaman nomenklatur diatas, perlu dijelaskan pengertian nomenklatur yang digunakan secara umum dalam praktek, diantaranya :
 
-           Pakta : sebenarnya istilah ini memiliki makna yang sama dengan Traktat (Treaty), hanya saja di Indonesia pengertian ini sering dikaitkan dengan Perjanjian-perjanjian di bidang Pertahanan, seperti Pakta Pertahanan NATO (North Atlantic Treaty Organization)atau SEATO (South East Asia Treaty Organization);
 
-           Statuta : istilah ini digunakan oleh beberapa organisasi internasional sebagai aturan dasarnya seprti antara lain : Statuta Mahkamah Internasional, Badan Atom dan Energi Internasional, dan Statuta Pusat IPTEK Negara-negara Gerakan Non-Blok dan Negara Berkembang.
 
Kedua istilah perjanjian tersebut ? termasuk Charter (Piagam) jarang bahkan hampir tidak digunakan dalam praktek pembuatan perjanjian internasional di Indonesia.  Satu-satunya penggunaan nomenklatur Piagam dan/atau Statuta di Indonesia adalah Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional sebagai konsekuensi keanggotaan Pemerintah Indonesia kepada kedua lembaga Internasional tersebut.
 
-           Traktat : biasa digunakan pada perjanjian-perjanjian, baik multilateral maupun bilateral yang cukup penting substansinya.  Pada perjanjian multilateral, Traktat selalu dikaitkan dengan pembentukan pakta pertahanan sebagaimana telah dijelaskan diatas; sedangkan pada perjanjian bilateral, penggunaan istilah Traktat besar sering dijumpai pada perjanjian-perjanjian yang cukup penting seperti diantaranya traktat kerjasama dibidang pembagian wilayah penambangan, ekstradisi serta perjanjian pertahanan dan keamanan.  Beberapa perjanjian yang menggunakan nomenklatur Traktat seperti Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Australia tentang Celah Timor (Timor Gap), ekstradisi dan perjanjian kerjasama dibidang keamanan yang secara berturut-turut diratifikasi dengan Undang-undang nomor 1 tahun 1991,  Undang-undang nomor 8 tahun 1994 dan Keputusan Presiden nomor 50 tahun 1996 tentang Kerjasama di bidang Pertahanan.  Seharusnya perjanjian yang terakhir ini diratifikasi dengan Undang-undang, namun karena pihak Australia mendesak agar pihak Indonesia segera meratifikasi sehubungan dengan akan berkunjungnya Perdana Menteri Australia ke Indonesia, maka perjanjian ini diratifikasi dengan Keputusan Presiden.  Proses ratifikasi perjanjian ini cukup unik dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia karena walaupun diratifikasi dengan Keputusan Presiden tetapi proses penetapannya harus melalui pembicaraan khusus antara pihak Pemerintah dengan pihak DPR.
 
Agak berlainan arti Traktak (Treaty) sebagaimana tercantum di dalam pasal 2 ayat (1) huruf (a) Law of Treaties, 1969 yang berbunyi:  ? Treaty means an international agreement concluded between State in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or into or more related instruments and whatever its particular designation?.
Arti kata ?Treaty? pada pasal tersebut harus diterjemahkan sebagai ? Perjanjian? dalam arti umum (genus).  Karena Law of Treaties 1969 memuat prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam pembuatan perjanjian international (juce cogens), maka kata ?Perjanjian? sebagai terjemahan dari traktak dapat diartikan sebagai genus ? nya dari nomenklatur perjanjian international yang ada, sedangkan ?spesiesnya? adalah nomenklatur sebagaimana lazimnya digunakan dalam perjanjian-perjanjian international.  Hal tersebut dipertegas dengan kalimat ?whatever its particular designation? (dalam bentuk apapun), artinya law of treaties, 1969 mengakui adanya nomenklatur lain di luar nomenklatur perjanjian (treaty) dan memberikan kebebasan kepada para pihak dalam pemilihan nomenklatur yang dikehendaki.
 
-           Konvensi: digunakan sebagai aturan dasar atau guidance dari organisasi-organisasi international di bawah PBB seperti WHO, FAO, UNEP, ICAO, ILO dan lain sebagainya.
 
-           Konstitusi :  memuat ketentuan-ketentuan organik suatu organisasi internasional.  Nomenklatur ini lebih banyak digunakan pada organisasi internasional yang bergerak di bidang pos dan telekomunikasi seperti Konstitusi Perhimpunan Pos Sedunia (Universal Postal Union), Asia ? Pacific Postal Union, Asia ? Pacific Telecommunity, Asian Oceanic Postal dan Perhimpunan Telekomunikasi International (International Telecommunication Union).
 
-           Persetujuan : istilah yang paling lazim digunakan oleh Pemerintah Indonesia dalam pembuatan perjanjian bilateral yang bersifat teknis, bahkan istilah ini ? mengingat beragamnya nomenklatur, dibakukan di dlaam Undang-undang nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sebagai satu-satunya nomenklatur untuk perjanjian bilateral yang bersifat teknis.  Pembakuan ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman bagi delegasi Indonesia dalam penggunaan nomenklatur perjanjian bilateral, mengingat seringnya diajukan pertanyaan mengenai nomenklatur yang tepat, disamping sering digunakan nomenklatur perjanjian karena ?selera?.  Begitu pula kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan oleh negara-negara anggota ASEAN biasa menggunakan nomenklatur Agreement seperti Agreement on Common Effektive Preferential Tariff Scheme of the ASEAN Free Trade Area atau Agreement on ASEAN Energy Cooperation dan sebagainya.
 
-           Memoranda Kesepakatan (MoU) atau Memorandum Saling Pengertian digunakan untuk perjanjian yang bersifat teknis sebagai pelaksanaan dari suatu Persetujuan Payung.  Dalam praktek, MoU sering dilakukan oleh instansi-instansi Pemerintah atau LSM lainnya tanpa didasarkan pada perjanjian payungnya.  Artinya MoU tersebut berdiri sendiri atau merupakan perjanjian dasar dari kerjasama atau kegiatan yang diperjanjikan.  Dalam hal ini suatu perjanjian MoU dibuat tanda mengacu kepada perjanjian payungnya, Pemerintah tidak bertanggung jawab atas akibat hukum yang ditimbulkan dari MoU tersebut.  Oleh karenanya, setiap instansi Pemerintah yang hendak mengadakan perjanjian dengan negara lain, harus merupakan pelaksanaan dari persetujuan payungnya agar tidak dianggap sebagai perjanjian ?terselubung?.  Terlebih dengan telah diundangkannya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah,  hal-hal semacam ini harus benar-benar dipahami karena masih banyak terdapat ketidak mengertian dari pejabat di daerah tentang hak dan kewajibannya dalam membuat perjanjian dengan negara lain.  Pasal 7 ayat (1) Undang-undang nomor 22 tahun 1999 dengan tegas mengatur diantaranya bahwa masalah-masalah luar negeri masih dikendalikan oleh Pemerintah Pusat.  Terdapat kecenderungan instansi teknis memilih perjanjian dengan pihak asing dalam bentuk MoU, tanpa mengacu pada perjanjian payung.  Selain prosesnya cepat, juga untuk menghindari aturan-aturan yang dianggap akan menghambat terealisasinya proyek kerjasama yang disepakati kedua pihak.  Sama halnya dengan pihak Pemerintah Jepang yang kurang suka dengan proses ratifikasi karena dianggap memakan waktu, serta kekhawatiran akan tersaingi (kehilangan pangsa pasar) oleh teknologi negara lain jika proses peratifikasian terlalu lama.  Pandangan yang terakhir ini sebenarnya keliru.  Perjanjian Payung dibuat untuk menaungi implementing arranggements yang akan dibuat kemudian.  Didalam Perjanjian Payung akan diatur prinsip-prinsip dasar dan ruang lingkup kerjasama yang akan dilakukan.  Dengan demikian, para pihak yang hendak membuat implementing arranggements tersebut tidak perlu membuat aturan-aturan hukum yang bersifat mendasar.  Misalnya hampir disetiap perjanjian IPTEK selalu diatur mengenai lingkup kerjasama dan pengaturan masalah-masalah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).  Ketentuan lebih rinci dari masalah-masalah HAKI misalnya, dapat dituangkan ke dalam implementing arranggementnya.  Disamping itu, bagi pihak yang lebih mengutamakan kepastian hukum terhadap perjanjian yang telah diadakannya, cenderung menggunakan proses ratifikasi atau mendasarkan kepada perjanjian payung karena perjanjian dilakukan ?sepengetahuan? pemerintah.  Contoh, Loan Agreement Padalarang ? Cileunyi between the Government of the Republic of Indonesia and Kwait Fund for Arab Economic Developmen (KFAED) yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1987.  Pada ketentuan akhir dari Agreement  tersebut sebenarnya tidak mensyaratkan proses ratifikasi untuk berlakunya; namun karena kekhawatiran pihak KFAED akan kemungkinan terjadinya wanprestasi, dan menghendaki adanya ?jaminan? dari Pemerintah, maka agreement tersebut diratifikasi.
 
MoU sering digunakan untuk perjanjian-perjanjian kerjasama dibidang IPTEK dan kebudayaan, dan berlaku sejak tanggal penandatanganan (tidak memerlukan proses ratifikasi).
 
-           Protokol : digunakan sebagai perubahan pasal tertentu dari suatu Konvensi atau Persetujuan.  Protokol ini dapat disamakan atau sejenis dengan Amandemen.  Contohnya Protokol-protokol yang dikeluarkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) yang beberapa diantaranya telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden.  Di lain pihak, Protokol digunakan juga sebagai pelengkap dari suatu Persetujuan Payung.  Misalnya, Protokol pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.  Terdapat juga suatu perubahan terhadap perjanjian payung dengan menggunakan nomenklatur Protokol,  tetapi jika diperhatikan dari substansinya Protokol tersebut lebih merupakan Pengaturan Khusus (special/separate arrangement)  terhadap pasal tertentu dari perjanjian payung.  Contoh,  Pasal 10 Persetujuan Perdagangan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Ceko yang telah ditandatangani oleh delegasi kedua pihak di Jakarta pada tanggal 23 Mei 1994, mengatur bahwa ketentuan mengenai HAKI akan diatur dalam suatu Protokol yang merupakan bagian yang terpisahkan dari Persetujuan ini.
 
-           Piagam : digunakan pada konstitusi PBB (Piagam PBB);
 
-           Deklarasi : merupakan dokumen yang menunjukkan sikap masyarakat dunia terhadap masalah tertentu.  Deklarasi ini dapat dijadikan sebagai dasar hukum atau mendasari konstitusi negara-negara yang menerima Deklarasi tersebut walaupun tanpa melalui proses ratifikasi.  Contoh,  Deklarasi Universal tentang Hak Azasi manusia yang mendasari hampir seluruh konsitusi negara-negara didunia.  Dapat pula Deklarasi merupakan sikap politik luar negeri suatu negara terhadap masalah tertentu,  seperti misalnya Deklarasi Bogota yang menyatakan bahwa negara-negara ekuatorial menuntut kedaulatan atas ruang antariksa.  Namun demikian,  deklarasi ini harus dibedakan dari Deklarasi sebagai pernyataan sikap suatu negara terhadap Pasal tertentu dari suatu Perjanjian multilateral (Konvensi).  Misalnya, deklarasi pemerintah Indonesia terhadap setiap ketentuan penyelesaian sengketa para pihak pada suatu perjanjian internasional melalui Mahkamah Internasional.  Melihat komposisi hakim Mahkamah Internasional yang didominasi oleh hakim dari ?Barat?,  menyebabkan pemerintah Indonesia merasa ?alergi? untuk menyerahkan setiap persengketaan kepada Mahkamah Internasional.  Oleh karenanya, terhadap ketentuan tentang penyelesaian sengketa tersebut pemerintah Indonesia mengajukan Deklarasi yang isinya menyatakan bahwa setiap persengketaan yang timbul dalam menginterprestasikan perjanjian/konvensi,  diselesaikan secara damai melalui jalur diplomatik.  Masih berkaitan dengan penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Internasional,  kasus penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan (melalui Mahkamah Internasional) harus dikecualikan.  Hal tersebut karena upaya-upaya penyelesaian melalui lembaga tribunal dalam kerangka sesama anggota ASEAN tidak membuahkan hasil.  Setidaknya, pemerintah Indonesia tidak akan ?losing face? apabila putusan Mahkamah Internasional akan memenangkan pihak Malaysia ? mengingat lemahnya bukti-bukti kepemilikan kedua pulaua tersebut di pihak Indonesia.
 
-           Final Act : biasa digunakan sebagai berita acara dari suatu konferensi internasional (multilateral) yang menghasilkan konvensi.  Final Act  ini dalam beberapa perjanjian internasional yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia, tidak dianggap sebagai bagian dari Konvensi yang bersangkutan (tidak perlu diratifikasi).
 
-           Term of Reference : peristilahan bagi perjanjian-perjanjian multilateral yang digunakan oleh beberapa badan di bawah PBB seperti di bidang Nikel, Tembaga dan Timah (secara berturut-turut diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 61, 62 dan 63 Tahun 1989).
 
-           Pengaturan (Arrangement) : sejenis dengan MoU yang merupakan peraturan atau perjanjian pelaksana Persetujuan Payung.  Pengaturan ini bersifat teknis dan biasanya berlaku sejak penandatanganan.  Pihak dari Pengaturan biasanya instansi teknis tertentu.  Perjanjian semacam ini hanya mengikat para pihak yang menandatangani perjanjian.  Istilah Pengaturan ini jarang digunakan pada perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah atau instansi pemerintah.  Perbedaannya dengan MoU adlaah bahwa Pengaturan lebih merupakan pelaksanaan atau pengaturan lebih lanjut pasal tertentu dari suatu perjanjian payung. 
-           Pertukaran Nota (Exchange Note) : adalah dokumen perjanjian yang disampaikan oleh satu pihak ke pihak lainnya dalam Persetujuan yang memberitahukan bahwa perjanjian yang mereka adakan telah diratifikasi.  Praktek di Indonesia, dokumen semacam ini ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri, atau Menteri Koordinator Politik dan keamanan sebagai Menteri Luar Negeri ad interim jika Menteri Luar Negeri tidak dapat menandatanganinya.  Pertukaran Nota ini biasanya dilakukan dengan suatu upacara khusus disalah satu negara yang mengadakan Persetujuan.  Sejenis dengan Pertukaran Nota ini adalah Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh negara yang menjadi pihak pada suatu perjanjian multilateral (Konvensi) kepada Depositari dari Konvensi yang bersangkutan (dalam  hal Konvensi yang dikeluarkan oleh PBB, biasanya Dekretaris Jenderal PBB sebagai depositari). 
Penggunaan istilah Pertukaran Nota pernah juga digunakan untuk Persetujuan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Arab Mesir mengenai Pembentukan Komite Bersama di Bidang Perdagangan (diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1987) dan Perlindungan Hak Cipta atas Rekaman Suara antara Republik Indonesia dan Masyarakat Eropa (diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1988). 
Istilah-istilah lainnya seperti Agreed Minutes, Summary Records, Process Verbal, modus Vivendi dan Letter of  Intent  jarang digunakan[1] oleh Pemerintah Indonesia dalam praktek pembuatan perjanjian internasional kecuali Letter Intent  pernah digunakan pada masa Orde Baru dan Era Reformasi ketika Pemerintah Indonesia melakukan pinjaman uang kepada IMF sebesar US$ 1 milyar dan janji Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 dan 138 tentang Penghapusan Kerja Paksa dan Usia Minimum untuk Diperbolehkan bekerja.  Kedua Letter of Intent  tersebut tidak diratifikasi, tetapi ditandatangani oleh Kepala Negara. 
Berkaitan dengan nomenklatur,  digunakan pula dalam praktek istilah-istilah lain yang tidak lazim digunakan seperti Akta (Acts) pada Perhimpunan Pos Sedunia (Universal Postal Union)  dan Perhimpunan Telekomunikasi Internasional (International Telecommunication Union),  serta Operating Agreement  pada INMARSAT atau INTELSAT. 
Akta dan Operating Agreement sebenarnya merupakan aturan pelaksana dari konstitusi suatu organisasi internasional.  Akta dan Operating Agreement dibuat untuk memudahkan organisasi yang bersangkutan beroperasi.  Jika dalam rangka mengoperasionalkan organisasi tersebut hanya berlandaskan kepada Konstitusinya,  akan dirasakan terlalu kaku dan Konstitusi tidak cukup fleksibel untuk mengikuti perkembangan-perkembangan yang terjadi di dunia internasional.  Syarat perubahan (amandemen) suatu Konstitusi sangatlah ketat dan memerlukan persetujuan (proses ratifikasi) dari negara-negara anggota.  Untuk mengatasi kekakuan Konstitusi tersebut,  digunakan bentuk-bentuk seperti Akta atau Operating Agreement yang biasanya tidak memerlukan proses ratifikasi atau pengaturannya diserahkan kepada perundang-undangan masing-masing negara pihak.  Hal yang terakhir ini sering menimbulkan polemik diantara pakar hukum di Indonesia.  Disatu pihak menyatakan proses ratifikasi diperlukan karena yang menjadi pihak adalah negara dan dipihak lain berpendapat tidak perlu diratifikasi karena hanya merupakan ?aturan main? diantara negara-negara pihak dalam rangka mengoptimalkan beroperasinya organisasi.
 Kedua pendapat tersebut ada benarnya; tergantung pendekatan yang digunakan terhadap masalah tersebut.  Bagi pihak yang menggunakan pendekatan legalistik, ratifikasi adalah jalan terbaik dan paling aman.  Namun bagi pihak yang menggunakan pendekatan praktis, maka proses ratifikasi menjadi tidak populer, karena lahirnya istilah-istilah semacam Akta, Operating Agreement  dan sebagainya bertujuan untuk mengatasi kekakuan dari ketentuan berlakunya suatu Konstitusi. 
Perbedaan pendapat ini akan berpengaruh pula pada proses penerimaan.  Bagi pihak yang melakukan pendekatan legalistik ratifikasi adalah satu-satunya cara Pengikatan diri.  Sedangkan bagi pihak yang melakukan pendekatan praktis, penerimaan dapat dilakukan melalui penandatanganan dari Menteri Luar Negeri atau Menteri/Pejabat lain yang bertanggung-jawab dibidangnya setelah mendapat Surat Kuasa. 
Terdapat pula istilah perjanjian internasional lainnya yang tidak lazim digunakan yaitu ?Talks?  pasa SALT (Strategic Arms Limitation Talks)  antara Pemerintah Amerika dan Uni Sovyet yang diadakan di Moscow pada tanggal 26 Mei 1972.  Dengan digunakan istilah SALT sebagai contoh,  disini terlihat bahwa Law of Treaties, 1969 memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada para pihak dalam memilih peristilahan suatu perjanjian internasional yang mereka buat. 
Dari berbagai nomenklatur yang digunakan dalam suatu perjanjian internasional, istilah Konvensi.              Persetujuan dan MoU adalah istilah yang paling lazim digunakan. 
Nomenklatur perjanjian ini sering menimbulkan permasalahan dalam penggunaannya, begitu pula dalam pemilihan bentuk peratifikasiannya.  Sementara pihak menganggap bahwa perjanjian yang menggunakan istilah Traktat (Treaty) adalah lebih tinggi/penting daripada istilah lainnya, sehingga harus diratifikasi dalam bentuk Undang-undang.  Sebenarnya pemahaman tersebut tidak selalu benar.  Pemilihan istilah- khususnya pada Perjanjian bilateral lebih banyak diserahkan kepada ?selera atau kesepakatan? para pihak yang mengadakan perjanjian seperti SALT sebagaimana dijelaskan diatas.  Trend  yang berkembang, bentuk peratifikasian ditentukan oleh substansi dari perjanjian, bukan dari nomenklatur perjanjian.
 
Dari contoh pemilihan penggunaan nomenklatur perjanjian internasional diatas,  terdapat beberapa catatan sebagai berikut : 
a.       Law of Treaties, 1969 tidak membatasi para pihak dalam perjanjian untuk menggunakan nomenklatur tertentu untuk perjanjian tertentu; 
b.       Tidak harus suatu perjanjian yang menggunakan nomenklatur tertentu memiliki bobot yang lebih penting daripada nomenklatur lainnya; 
c.       Nomenklatur yang digunakan tidak menentukan bentuk peratifikasiannya (Undang-undang/Keppres).  Penetapan penggunaan bentuk Undang-undang/Keputusan Presiden tergantung dari substansi yang diatur di dalam perjanjian.
 


[1] J.G Starke di dalam buku Pengantar Hukum Internasional mendefinisikan Proses Verbal sebagai rangkuman dari jalannya serta kesimpulan dari suatu konferensi diplomatik.  Namun demikian, pengertian tersebut pada saat ini diartikan juga sebagai catatan-catatan istilah dari suatu persetujuan yang dicapai oleh para peserta.  Sedangkan Modus Vivendi adalah suatu dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat temporer atau provisional yang dimaksudkan untuk diganti dengan arrangement yang sifatnya lebih permanen dan rinci.

0 komentar:

Posting Komentar